BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teologi
difahami oleh sebagian besar kaum muslimin sebagai ilmu yang membahas dan mengkaji
tentang ketuhanan saja. Para ahli intelektual muslim masa kini
memulai untuk mengkaji kembali paradigma-paradigma yang ada dalam ilmu
teologi. Banyak dari mereka menegaskan bahwa sesungguhnya teologi bukanlah ilmu
murni yang hadir dari kekosongan sejarah, melainkan sebuah refleksi dan
implikasi dari konflik-konflik sosial politik. Teologi bukanlah Ilmu tentang
Tuhan melainkan adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, karena Tuhan itu tidak tunduk kepada
Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu.
Bila
kita memperhatikan analisis sejarah oleh para pakar, dapat dikatakan bahwa pada
awalnya doktrin tauhid (teologi) yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis,
progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran
yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, menghambakan diri
kepada-Nya, menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan
mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan
dan penghambaan diri kepada selain-Nya.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin,usaha dan semangat pembebasan
masyarakat dari ketertindasan, diskriminasi dan ketidak adilan sosial, tampak
mulai memudar dari ritme kehidupan umat Islam. Hal ini terjadi karena selama
pemerintahan empat khalifah tersebut, umat Islam disibukkan oleh perjuangan
untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskannya.[1]
Pada akhirnya para pemikir
islam dengan memadukan pemikiran Yunani, melahirkan aliran-aliran teologi disamping yang
lebih disebabkan oleh faktor-faktor politik, juga lebih mengemukakan tema-tema
filosofis, sehingga pemikiran dan perdebatan teologi waktu itu.
Berpijak
pada berhentinya pemikiran teologi Islam klasik yang
kurang memiliki fungsi sosial transformatif, muncul pemikiran-pemikiran untuk
menggali ulang spirit of theology yang liberatif, progresif dan dinamis
sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan
oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris)
sebagai trend teologinya, beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan
universal (antroposentris).
Dalam makalah ini akan membahas teologi antroposentris transformatif, yang
mana pemaknaan teologi tidak hanya dimaknai dalam satu sudut pandang saja
melainkan dari sudut pandang yang lainnya. Proses perkembangan pemikiran islam
menjadi fokus utama dalam pembahasan makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
- Apa yang dimaksud dengan teologi antroposentri transformatif ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
- Mengetahui yang dimaksud dengan teologi antroposentris transformatif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teologi Antroposentris Transformatif
Teosentris
berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memilik
iarti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks
ini, teosentris mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait
Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di
muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan.
Teologi
yang secara etimologi berasal dari kata logos dan theos, adalah
ilmu perkataan (ilmu Kalam). sebab person tidak tunduk kepada ilmu.
Tuhan tercemin dalam perkataan logology. Ilmu perkataan (ilmu kalam)
adalah Ilmu tentang analisis percakapan, bukan hanya sebagai bentuk-bentuk yang
murni ucapan, melainkan juga sebagai konteks perkataan yakni yang mengacu
kepada iman. Wahyu adalah kehendak Tuhan, yaitu perkataan yang diturunkan oleh
Tuhan kepada manusia dengan wahyu.[2]
Sistem kepercayaan merupakan suatu ensambel konsep-konsep yang menetukan
persepsi-persepsi manusia tentang dunia dan memberikan motivasi-motivasi kepada
manusia untuk bertindak. Ia merupakan visi sederhana tentang dunia dan komitmen
dengannya. Jadi sistem kepercayaan bukan suatu misteri yang melampaui akal atau
keputusan yang buta dan berubah-ubah tentang kehendak yang menggantikan
kepastian manusia.
Dalam
teologi modern, teosentris sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika
lingkungan. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia
sebagai pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka. Manusia
seharusnya memikirkan semua, dari hewan, tumbuhan hingga kemanusia sendiri.
Hal ini memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan
seharusnya menjaga dunia untuk generasi mendatang.
Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan
doktrin dan memelihara kemurnianya, bukan dialektika konsep tetang watak sosial
dan sejarah, disamping juga bahwa Ilmu kalam sering disusun sebagai persembahan
kepada para penguasa yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sesuai perkembangan zaman, dunia
Islam membutuhkan teologi Islam yang bersifat tajriby (empirik), sebagai
teologi yang lebih “membumi” dari pada “melangit” seperti selama ini. Dialektika-teologis
terus berlanjut sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan konteks
zaman yang melingkupinya. Bagaimanapun, teologi tidak berarti hanya berbicara
mengenai iman. Jika iman masih bersifat “pure matter” atau substantive, maka
teologi lebih bersifat metodologik.[3]
Dalam tradisi keagamaan, teologi (Islam, aqidah) dipandang sebagai unsur
penting yang mendasari adanya sebuah agama, tanpa teologi yang menjadi dasar
keimanan seseorang, maka tidak ada yang namanya agama. Oleh karena itu jika teologi menjadi
bidang kajian yang telah mentradisi dalam semua agama. Bahkan sejarah-sejarah
agama pada dasarnya adalah sejarah teologi. Ratusan bahkan ribuan buku telah
ditulis orang untuk memperbincangkan masalah teologi ini, yang semuanya
bertujuan untuk mensucikan (Tanzih) Tuhan.[4]
Teologi
(ilmu kalam) merupakan bidang strategis sebagai landasan upaya pembaharuan
pemahaman dan pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis. Teologi merupakan aspek penting
karena dapat berfungsi sebagai refleksi kritis tindakan manusia dalam melihat realitas
sosial yang dihadapinya.[5] Tuhan atau Ilmu tentangnya
(teologi/kalam), dalam diskursus keislaman sesungguhnya mengalami pembakuan
tetapi “demanding” (banyak permintaan). Sayangnya ketika permintaan itu
dicari jawabannya, maka kita menemukan dogma: janganlah engkau berpikir tentang
Tuhan, tetapi pikirkanlah tentang ciptaan Tuhan. Sebab, siapa mengetahui Tuhan,
dia mengetahui dirinya. Dan siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan
karenanya, Tuhan dalam Islam menjadi Imposible area (daerah ketidak mungkinan
untuk dicari jawaban-jawaban tegasnya) Muhammad SAW, menyebutnya dengan, Qul
al-Ruhu min Amri Rabbi (segala diskursus Tuhan, hanya Tuhan yang tahu).
Tuhan menjadi Transenden personalistik (Jauh dan milik Prifat) dan
gagasan ini, seringkali di tuduh sebagai gagasan pembeda (furqan) dari
teologi dalam kristiani yang telah imanen (kehadiran Tuhan dalam setiap
aktivitas manusia).
Ketika
membicarakan relasi Tuhan dengan manusia, mainstream pemikiran
teologi selalu bersifat teosentris,di mana Tuhan menjadi pusat segala
kekuatan dan kekuasaan, sedangkan manusia harus tunduk dan di tundukkan di
hadapan Tuhan. Di tengah keruwetan pembahasan teologi, banyak orang mulai
mempertanyakan apa relevansi teologi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial
kemanusiaan. Pertanyaan ini muncul karena teologi, alih-alih menjawab problem
kemanusiaan, dalam banyak hal justru digunakan sebagai alat untuk melakukan
penindasan kepada mausia.
Teologi bukan sarana untuk melakukan transformasi masyarakat, tetapi lebih
sebagai bidang kajian untuk “mentransformasikan Tuhan”, cara berpikir dikotomis
seperti ini, menganggap agama adalah cara orang untuk bertuhan (teologi teosentris),
suatu teologi yang mengajak manusia untuk ” meninggalkan segala-galanya” demi
Tuhan. Logikanya,
karena kita semua berhasil dari Nya maka kepada Tuhanlah kita serahkan
segalanya.[6]
Teologi
adalah wilayah ke-tuhan-an, sedang realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan.
Jika mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara teologi dengan
transformasi sosial. Artinya kalau orang ingin menjadikan teologi sebagai basis
transformasi sosial tidak ubahnya seperti mencari jarum di tengah padang pasir
yang maha luas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi macam apa yang
bisa dijadikan basis transformasi sosial? Disinilah pentingnya upaya
“memanusiakan teologi” dan “menteologikan manusia”. Memanusiakan teologi
berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia
berarti menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis.
Maka dari itu para pemikir teologi mulai mencari alternatif untuk
merumuskan sebuah paham teologi yang lebih memihak kepada manusia, sehingga
dalam kristen muncul istilah teologi pembebasan yang belakangan juga diadopsi
beberapa pemikir Islam. Teologi model ini dianggap lebih memihak kepada manusia.
Berupaya menghilangkan kemiskinan dan ketidak adilan sebagai wujud gerakan pembebasan.
Kepercayaan
dalam pengertian ini belum pada kepercayaan pada “Tuhan”, sudah menjadi
suatu keniscayaan, perlunya pergeseran paradigma dalam teologi (Ilmu Kalam). Apabila teologi hanya berbicara tentang
Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan
kemanusiaan Universal (antoposentris), maka rumusan teologinya lambat
laun akan terjadi Out of Date.[7]
Para pemikir akan menganggap agama sebagai cara orang ber-tuhan saja (teosentris),
melahirkan tafsir dan cara pandang sebaliknya, yaitu agama adalah cara orang
untuk bermanusia. Dalam cara pemahaman agama seperti ini, melahirkan teologi antoposentris.
Suatu teologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Tuhan telah
menciptakan alam semesta. Maka dari itu manusia bebas (Free-Sekuler) untuk menentukan
pusat segalanya. Sebab inti agama adalah cara memanusiakan, menyejahterakan
manusia itu sendiri. Akibatnya adalah, diskursus tentang
ekoreligi sebagai contoh, didasarkan atas nilai-nilai kapitalis,
sekuler anti pelestarian lingkungan. Yaitu, sebuah fokus yang menempatkan
manusia sebagai raja yang sah untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan alam
berdasarkan untung-rugi bagi kepentingannya.
Keilmuan teologi (kalam) yang berkembang selama ini hanya bersifat teosentris,
teologi (ilmu Kalam) yang pembahasannya senantiasa lekat dengan
masalah-masalah al- ilahiyat, al-manthiqiyat dan at-tabi’iyat
merupakan teologi (ilmu kalam) dalam realitasnyao old fashion.[8] Pemikiran-pemikiran teologis kontemporer
semestinya merupakan refleksi dari bawah ke atas, dari realitas di
proyeksikan pada teks-teks keagamaan. Sementara itu, pemikiran keagamaan
(teologi) selama ini bertumpu pada model “pengalihan” yang hanya memindahakan
bunyi teks pada realitas. Padahal, teks bukan atau tidak sama dengan realitas
itu sendiri. Alasan inilah meniscayakan revitalisasi Ilmu kalam
(teologi), diharapkan dengan perubahan epistemologi ilmu kalam (teologi), akan
menjadikan up to date, relevan dengan perkembangan zaman, tidak
ditinggalkan masyarakat, karena teologi disini perduli terhadap realitas
masyarakat, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, seperti penjajahan,
ketidak adilan, kebodohan dan kemiskinan serta yang lainnya.
Apabila
teologi Yunani tidak menerima eksistensi manusia untuk mengerti dirinya, maka
filsafat Yunani tidak akan menjadi gerbang para pemikir. Jika teologi Kristen
tidak menerima penebusan penderitaan manusia. Niscaya Kristen tidak akan
melahirkan insan kasih sayang. Begitu pula jika teologi Islam yang mutlak tidak
menerima kehadiran insan unutk mencapai taraf keluhuran dengan cinta dan kasih
sayangnya, Islam tidak akan menjadi cita ideal bagi insan pengasih dan
penyayang.
Selama ini agama (Islam) yang menggunakan “bahasa langit” tidak bisa secara
langsung menyentuh aspek sosial manusia, sehingga secara spesifik perlu
ditafsirkan menjadi bahasa bumi. Pada tingkat penafsiran inilah, agama yang semestinya
mempunyai fungsi pembebasan justru berubah menjadi sebaliknya, pengekangan
melalui proses ortodoks. Kalam kontemporer dengan demikian, mesti berdialog
dengan realitas yang berkembang dalam konteks kekinian sebagai wujud
pengembalian dan kebaruannya.
Teologi
tradisional lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem
kepercayaan, yakni transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil
dari sekte-sekte dan budaya lama. Dengan keadaan seperti itu, disusun suatu
kerangka konseptual dengan menggunakan bahasa dan kategori-kategori yang
berlaku pada saat itu, guna mempertahankan doktrin, utama dan memelihara kemurniannya. Seluruh Ilmu
dialektika dibangun untuk mempertahankan diri (sebagai sebuah konsep) dan untuk
menolak yang lain (sebagai konsep tandingan) dialektika berasal dari dialog dan
mengandung pengertian saling menolak hanya merupakan dialektika kata-kata.
Teologi
antroposentris merupakan wujud Hassan Hanafi untuk merekontruksi teologi
(kalam) klasik. Teologi (ilmu kalam) klasik mempunyai orientasi hanya pada
tema-tema seperti Tuhan, malaikat, langit, akhirat, surga, kitab suci dan
seterusnya. Tidak mempunyai visi transformasi, visi sosial atau kemanusiaan.
Teologi (ilmu kalam) klasik lebih bersifat teosentris yakni menjadikan
Tuhan sebagai pusat dari segala pergulatan pemikiran. Dalam persoalan
kemanusiaan misalnya, perdebatan teologi selalu berkuata pada persoalan Tuhan
dan sifat-Nya.
Apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak, apakah sifat Tuhan di dalam atau
di luar dzat, dan seterusnya kalaupun muncul pembahasan mengenai keadilan, yang
disentuh dalam pergulatan teologi (ilmu kalam) klasik baru sebatas keadilan
Tuhan dalam memberi balasan atas perbuatan manusia di akhirat kelak. Kalaupun muncul pembahasan mengenai
keadilan, yang disentuh dalam pergulatan teologi (ilmu kalam) klasik baru
sebatas keadilan Tuhan dalam memberi balasan atas perbuatan manusia di akhirat
kelak. Kalaupun muncul pemikiran yang menyentuh aspek kemanusiaan mengenai ada
tidaknya kehendak bebas manusia, ujung-ujungnya juga mengenai balasan Tuhan di
akhirat. Singkatnya, keseluruhan aspek-aspek pemikiran teologi menjadikan Tuhan
sebagai pusat, teosentris, sedangkan manusia hanya sekedar menjadi
pernik-pernik yang tidak mempunyai arti apa-apa.
Teologi
bukan Ilmu tentang Tuhan, karena person Tuhan tidak tindak kepada Ilmu. Tuhan
mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Tidaklah cukup disebut
juga dengan ilmu kalam, yaitu Ilmu kalam Allah (sabda Tuhan) karena al-kalam
itupun masih menyisakan pertanyaan, yakni apakah al-kalam itu
sesungguhnya ‘kalam Tuhan’ ataukah ia hanya “kalam manusia”, karena betapapun,
sabda Tuhan itu dapat diketahui hanya setelah mempunyai pembacaan, penafsiran
dan pemahaman manuisa. Dengan demikian “kalam manusia” menjadi diskursus
tentang “kalam Tuhan” berdasarkan pikiran, perasaan dan perkataan manusia, Ilmu
kalam menjadi studi tentang “siapa dan bagaimana Tuhan” (hadits an allah; discours sur
dieu) dan bukan mengenai “apa kata Tuhan” (hadis min Allah; discours de
dieu).
Dengan
demikian, teologi antoposentris sebenarnya adalah antitesis dari
teologi (kalam) klasik dengan mainstream yang bercorak teosentris,
beroeientasi pada persoalan ketuhanan. Menurut Hassan Hanafi teologi klasik
belum dapat menjawab sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan mmberi
motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit umat manusia. Secara praxis,
teologi (kalam) klasik gagal menjawab, semacam ideologi yang sungguh-sungguh
fungsional bagi kehidupan nyata umat Islam. Teologi (kalam) klasik dituntut
dapat berperan serta dalam memberikan jawaban terhadap isyu-isyu kemanusiaan
universal, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan lain-lain.
Orientasi
teologi antroposentris adalah manusia, sudah tidak menjadikan Tuhan
sebagai pusat dari segala pergulatan pemikiran. Sasaran teologi antroposentris
adalah mengekploitasi wilayah kemanusiaan, peduli terhadap perubahan sosial,
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Sudah tidak saatnya teologi harus
selalu membela Tuhan, karena Tuhan sebenarnya tidak butuh pembelaan manusia.
Tuhan dibela atau tidak dibela oleh manusia, dia tetap dzat yang Maha Tinggi.
Pembelaan manusia tidak semakin meningkatkan derajat Tuhan. Oleh karena itu,
teologi antroposentris lebih menjadikan manusia sebagai pusat segala
sesuatu, menjadikan urusan dunia sebagai urusan manusia. Dunia dipandang dengan
perspektif “dunia” sehingga dunia tidak selalu didekati dengan perspektif
Ilahi, meskipun yang bersifat ilahi tidak dapat ditolak sama sekali.
Adapun yang ditransfer dalam teologi ini adalah nilai dari Ketuhanan itu
sendiri pada sosial masyarakat. Manusia akan menganggap bahwa dirinya ada
karena Tuhan yang menciptakannya. Melihat perkembangan jaman membuat manusia
lalai dan lupa pada diri sendiri dan lebih memikirkan kehidupannya saat ini.
Upaya ini dilakukan agar mereka paham dan yakin bahwa teologi (ilmu kalam)
sangatlah penting dalam kehidupan, baik mereka beragama islam, maupun non muslim.
Mereka akan saling menjunjung tinggi nilai teologi dalam kehidupannya.
BAB III
PENUTUP
Pemikiran Islam transformatif adalah
pemikiran baru. Meskipun gagasan dasarnya sudah lama, yakni menghendaki agar
kaum muslim menciptakan tata sosial-moral yang adil dan egaliter, dalam rangka
menghilangkan penyelewengan di atas dunia,
fasd fi al-ardl, melalui pertimbangan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu social. Jadi pengertian Islam
transformatif di sini menjadi sangat jelas. Islam
transformatif merupakan pencarian dialogis, yakni agama harus membaca dan
memberikan jawaban terhadap ketimpangansosial. Adapun konsep teologis kritis
disodorkan sebagai pendekatan memahami hubungan agama dengan kekuasaan,
modernisasi dan keadilan rakyat. Agama pada dasarnya bukanlah identitas
sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia
dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Transformasi
kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk mengubah masyarakat dari
kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan lebih dekat dengan tatanan yang
ideal, untuk mengorganisir diri dalam memperbaiki harkat hidup dan martabatnya
sebagai manusia yang manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali Enginer, Islam Dan
Teologi Pembangunan,terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1999.
Hassan Hanafi, Islam In The Modern World Religion,
Ideology and Development (Heliopolis: Dar Kebaa Book Shop, t.th).jld II.
Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam
dalam Percakapan Epistemologis, Yogyakarta: Sipres, 1998.
Rumadi, Masyarakat Post-teologi, Wajah Baru Agama dan
Demokratisasi Indonesia. Jakarta:
CV Mustika Bahmid,2002
Nurcholis Madjid ,” Aktualisasi
Ajaran aswaja”, dalam Islam Menatap Masa Depan (Jakarta;
P3M,1989), hlm.61
Airlangga Pribadi & M. Yudhie R.
Haryono, Post Islam Liberal Membangun Dentuman Mentradisikan Eksperimentasi. Jakarta PT. Pasarindo Bunga Mas Nagari, 2002
Amin Abdullah, Filsafat Kalam Di
Era Postmodernisme. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
Hassan Hanafi, Dirasah Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Mishriyyah, t.th.
TEOLOGI
ANTROPOSENTRIS TRANSFORMATIF
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran
Dalam Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Khoirudin A,
M.A
Disusun oleh:
Awang Yulias Supardi
015.10.09.1468/015.MPI.065
PRODI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NAHDLATUL
ULAMA SURAKARTA
[1] Asghar Ali Enginer, Islam Dan
Teologi Pembangunan,terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1999),hlm.15
[2] Hassan
Hanafi, Islam In The Modern World Religion, Ideology and Development
(Heliopolis: Dar Kebaa Book Shop, t.th).jld II, hlm.122.
[3] Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam
dalam Percakapan Epistemologis, (Yogyakarta: Sipres, 1998), hlm. 166.
[4] Rumadi,
Masyarakat Post-teologi, Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia
(Jakarta: CV Mustika Bahmid,2002), hlm.23
[5] Nurcholis Madjid ,” Aktualisasi
Ajaran aswaja”, dalam Islam Menatap Masa Depan (Jakarta;
P3M,1989), hlm.61
[6] Airlangga Pribadi & M. Yudhie R.
Haryono, Post Islam Liberal Membangun Dentuman Mentradisikan Eksperimentasi (Jakarta
PT. Pasarindo Bunga Mas Nagari, 2002), hlm.89-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar