Senin, 25 Januari 2016

TEOLOGI ANTROPOSENTRIS TRANSFORMATIF



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Teologi difahami oleh sebagian besar kaum muslimin sebagai ilmu yang membahas dan mengkaji tentang ketuhanan saja. Para ahli  intelektual muslim masa kini memulai untuk mengkaji kembali paradigma-paradigma yang ada dalam ilmu teologi. Banyak dari mereka menegaskan bahwa sesungguhnya teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari kekosongan sejarah, melainkan sebuah refleksi dan implikasi dari konflik-konflik sosial politik. Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan melainkan adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu.
Bila kita memperhatikan analisis sejarah oleh para pakar, dapat dikatakan bahwa pada awalnya doktrin tauhid (teologi) yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, menghambakan diri kepada-Nya, menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin,usaha dan semangat pembebasan masyarakat dari ketertindasan, diskriminasi dan ketidak adilan sosial, tampak mulai memudar dari ritme kehidupan umat Islam. Hal ini terjadi karena selama pemerintahan empat khalifah tersebut, umat Islam disibukkan oleh perjuangan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskannya.[1] Pada akhirnya para pemikir islam dengan memadukan pemikiran Yunani, melahirkan aliran-aliran teologi disamping yang lebih disebabkan oleh faktor-faktor politik, juga lebih mengemukakan tema-tema filosofis, sehingga pemikiran dan perdebatan teologi waktu itu.
Berpijak pada berhentinya pemikiran teologi Islam klasik yang kurang memiliki fungsi sosial transformatif, muncul pemikiran-pemikiran untuk menggali ulang spirit of theology yang liberatif, progresif dan dinamis sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai trend teologinya, beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam makalah ini akan membahas teologi antroposentris transformatif, yang mana pemaknaan teologi tidak hanya dimaknai dalam satu sudut pandang saja melainkan dari sudut pandang yang lainnya. Proses perkembangan pemikiran islam menjadi fokus utama dalam pembahasan makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
  1. Apa yang dimaksud dengan teologi antroposentri transformatif ?
C.     Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
  1. Mengetahui yang dimaksud dengan teologi antroposentris transformatif
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teologi Antroposentris Transformatif
Teosentris berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memilik iarti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentris mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan.
Teologi yang secara etimologi berasal dari kata logos dan theos, adalah ilmu perkataan (ilmu Kalam). sebab person tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan tercemin dalam perkataan logology. Ilmu perkataan (ilmu kalam) adalah Ilmu tentang analisis percakapan, bukan hanya sebagai bentuk-bentuk yang murni ucapan, melainkan juga sebagai konteks perkataan yakni yang mengacu kepada iman. Wahyu adalah kehendak Tuhan, yaitu perkataan yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia dengan wahyu.[2] Sistem kepercayaan merupakan suatu ensambel konsep-konsep yang menetukan persepsi-persepsi manusia tentang dunia dan memberikan motivasi-motivasi kepada manusia untuk bertindak. Ia merupakan visi sederhana tentang dunia dan komitmen dengannya. Jadi sistem kepercayaan bukan suatu misteri yang melampaui akal atau keputusan yang buta dan berubah-ubah tentang kehendak yang menggantikan kepastian manusia.
Dalam teologi modern, teosentris sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika lingkungan. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia sebagai pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka. Manusia seharusnya memikirkan semua, dari hewan, tumbuhan hingga kemanusia sendiri. Hal ini memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya menjaga dunia untuk generasi mendatang.
Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurnianya, bukan dialektika konsep tetang watak sosial dan sejarah, disamping juga bahwa Ilmu kalam sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sesuai perkembangan zaman, dunia Islam membutuhkan teologi Islam yang bersifat tajriby (empirik), sebagai teologi yang lebih “membumi” dari pada “melangit” seperti selama ini. Dialektika-teologis terus berlanjut sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Bagaimanapun, teologi tidak berarti hanya berbicara mengenai iman. Jika iman masih bersifat “pure matter” atau substantive, maka teologi lebih bersifat metodologik.[3]
Dalam tradisi keagamaan, teologi (Islam, aqidah) dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya sebuah agama, tanpa teologi yang menjadi dasar keimanan seseorang, maka tidak ada yang namanya agama. Oleh karena itu jika teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi dalam semua agama. Bahkan sejarah-sejarah agama pada dasarnya adalah sejarah teologi. Ratusan bahkan ribuan buku telah ditulis orang untuk memperbincangkan masalah teologi ini, yang semuanya bertujuan untuk mensucikan (Tanzih) Tuhan.[4]
Teologi (ilmu kalam) merupakan bidang strategis sebagai landasan upaya pembaharuan pemahaman dan pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis. Teologi merupakan aspek penting karena dapat berfungsi sebagai refleksi kritis tindakan manusia dalam melihat realitas sosial yang dihadapinya.[5] Tuhan atau Ilmu tentangnya (teologi/kalam), dalam diskursus keislaman sesungguhnya mengalami pembakuan tetapi “demanding” (banyak permintaan). Sayangnya ketika permintaan itu dicari jawabannya, maka kita menemukan dogma: janganlah engkau berpikir tentang Tuhan, tetapi pikirkanlah tentang ciptaan Tuhan. Sebab, siapa mengetahui Tuhan, dia mengetahui dirinya. Dan siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan karenanya, Tuhan dalam Islam menjadi Imposible area (daerah ketidak mungkinan untuk dicari jawaban-jawaban tegasnya) Muhammad SAW, menyebutnya dengan, Qul al-Ruhu min Amri Rabbi (segala diskursus Tuhan, hanya Tuhan yang tahu). Tuhan menjadi Transenden personalistik (Jauh dan milik Prifat) dan gagasan ini, seringkali di tuduh sebagai gagasan pembeda (furqan) dari teologi dalam kristiani yang telah imanen (kehadiran Tuhan dalam setiap aktivitas manusia).
Ketika membicarakan relasi Tuhan dengan manusia, mainstream  pemikiran teologi selalu bersifat teosentris,di mana Tuhan menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan, sedangkan manusia harus tunduk dan di tundukkan di hadapan Tuhan. Di tengah keruwetan pembahasan teologi, banyak orang mulai mempertanyakan apa relevansi teologi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kemanusiaan. Pertanyaan ini muncul karena teologi, alih-alih menjawab problem kemanusiaan, dalam banyak hal justru digunakan sebagai alat untuk melakukan penindasan kepada mausia.
Teologi bukan sarana untuk melakukan transformasi masyarakat, tetapi lebih sebagai bidang kajian untuk “mentransformasikan Tuhan”, cara berpikir dikotomis seperti ini, menganggap agama adalah cara orang untuk bertuhan (teologi teosentris), suatu teologi yang mengajak manusia untuk ” meninggalkan segala-galanya” demi Tuhan. Logikanya, karena kita semua berhasil dari Nya maka kepada Tuhanlah kita serahkan segalanya.[6]
Teologi adalah wilayah ke-tuhan-an, sedang realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan. Jika mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara teologi dengan transformasi sosial. Artinya kalau orang ingin menjadikan teologi sebagai basis transformasi sosial tidak ubahnya seperti mencari jarum di tengah padang pasir yang maha luas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi macam apa yang bisa dijadikan basis transformasi sosial? Disinilah pentingnya upaya “memanusiakan teologi” dan “menteologikan manusia”. Memanusiakan teologi berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia berarti menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis.
Maka dari itu para pemikir teologi mulai mencari alternatif untuk merumuskan sebuah paham teologi yang lebih memihak kepada manusia, sehingga dalam kristen muncul istilah teologi pembebasan yang belakangan juga diadopsi beberapa pemikir Islam. Teologi model ini dianggap lebih memihak kepada manusia. Berupaya menghilangkan kemiskinan dan ketidak adilan sebagai wujud gerakan pembebasan.
Kepercayaan dalam pengertian ini belum pada  kepercayaan pada “Tuhan”, sudah menjadi suatu keniscayaan, perlunya pergeseran paradigma dalam teologi (Ilmu Kalam). Apabila teologi hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan kemanusiaan Universal (antoposentris), maka rumusan teologinya lambat laun akan terjadi Out of Date.[7]
Para pemikir akan menganggap agama sebagai cara orang ber-tuhan saja (teosentris), melahirkan tafsir dan cara pandang sebaliknya, yaitu agama adalah cara orang untuk bermanusia. Dalam cara pemahaman agama seperti ini, melahirkan teologi antoposentris. Suatu teologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Tuhan telah menciptakan alam semesta. Maka dari itu manusia bebas (Free-Sekuler) untuk menentukan pusat segalanya. Sebab inti agama adalah cara memanusiakan, menyejahterakan manusia itu sendiri. Akibatnya adalah, diskursus  tentang ekoreligi  sebagai contoh, didasarkan atas nilai-nilai kapitalis, sekuler anti pelestarian lingkungan. Yaitu, sebuah fokus yang menempatkan manusia sebagai raja yang sah untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan alam berdasarkan untung-rugi bagi kepentingannya.
Keilmuan teologi (kalam) yang berkembang selama ini hanya bersifat teosentris, teologi (ilmu Kalam) yang pembahasannya senantiasa lekat dengan masalah-masalah al- ilahiyat, al-manthiqiyat dan at-tabi’iyat merupakan teologi (ilmu kalam) dalam realitasnyao old fashion.[8] Pemikiran-pemikiran teologis kontemporer semestinya merupakan refleksi dari bawah ke  atas, dari realitas di proyeksikan pada teks-teks keagamaan. Sementara itu, pemikiran keagamaan (teologi) selama ini bertumpu pada model “pengalihan” yang hanya memindahakan bunyi teks pada realitas. Padahal, teks bukan atau tidak sama dengan realitas itu sendiri. Alasan inilah meniscayakan revitalisasi Ilmu kalam (teologi), diharapkan dengan perubahan epistemologi ilmu kalam (teologi), akan menjadikan up to date, relevan dengan perkembangan zaman, tidak ditinggalkan masyarakat, karena teologi disini perduli terhadap realitas masyarakat, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, seperti penjajahan, ketidak adilan, kebodohan dan kemiskinan serta yang lainnya.
Apabila teologi Yunani tidak menerima eksistensi manusia untuk mengerti dirinya, maka filsafat Yunani tidak akan menjadi gerbang para pemikir. Jika teologi Kristen tidak menerima penebusan penderitaan manusia. Niscaya Kristen tidak akan melahirkan insan kasih sayang. Begitu pula jika teologi Islam yang mutlak tidak menerima kehadiran insan unutk mencapai taraf keluhuran dengan cinta dan kasih sayangnya, Islam tidak akan menjadi cita ideal bagi insan pengasih dan penyayang.
Selama ini agama (Islam) yang menggunakan “bahasa langit” tidak bisa secara langsung menyentuh aspek sosial manusia, sehingga secara spesifik perlu ditafsirkan menjadi bahasa bumi. Pada tingkat penafsiran inilah, agama yang semestinya mempunyai fungsi pembebasan justru berubah menjadi sebaliknya, pengekangan melalui proses ortodoks. Kalam kontemporer dengan demikian, mesti berdialog dengan realitas yang berkembang dalam konteks kekinian sebagai wujud pengembalian dan kebaruannya.
Teologi tradisional lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi  Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Dengan keadaan seperti itu, disusun suatu kerangka konseptual dengan menggunakan bahasa dan kategori-kategori yang berlaku pada saat itu, guna mempertahankan doktrin, utama dan memelihara kemurniannya. Seluruh Ilmu dialektika dibangun untuk mempertahankan diri (sebagai sebuah konsep) dan untuk menolak yang lain (sebagai konsep tandingan) dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak hanya merupakan dialektika kata-kata.
 Teologi antroposentris merupakan wujud Hassan Hanafi untuk merekontruksi teologi (kalam) klasik. Teologi (ilmu kalam) klasik mempunyai orientasi hanya pada tema-tema seperti Tuhan, malaikat, langit, akhirat, surga, kitab suci dan seterusnya. Tidak mempunyai visi transformasi, visi sosial atau kemanusiaan. Teologi (ilmu kalam) klasik lebih bersifat teosentris yakni menjadikan Tuhan sebagai pusat dari segala pergulatan pemikiran. Dalam persoalan kemanusiaan misalnya, perdebatan teologi selalu berkuata pada persoalan Tuhan dan sifat-Nya.
Apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak, apakah sifat Tuhan di dalam atau di luar dzat, dan seterusnya kalaupun muncul pembahasan mengenai keadilan, yang disentuh dalam pergulatan teologi (ilmu kalam) klasik baru sebatas keadilan Tuhan dalam memberi balasan atas perbuatan manusia di akhirat kelak. Kalaupun muncul pembahasan mengenai keadilan, yang disentuh dalam pergulatan teologi (ilmu kalam) klasik baru sebatas keadilan Tuhan dalam memberi balasan atas perbuatan manusia di akhirat kelak. Kalaupun muncul pemikiran yang menyentuh aspek kemanusiaan mengenai ada tidaknya kehendak bebas manusia, ujung-ujungnya juga mengenai balasan Tuhan di akhirat. Singkatnya, keseluruhan aspek-aspek pemikiran teologi menjadikan Tuhan sebagai pusat, teosentris, sedangkan manusia hanya sekedar menjadi pernik-pernik yang tidak mempunyai arti apa-apa.
Teologi bukan Ilmu tentang Tuhan, karena person Tuhan tidak tindak kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Tidaklah cukup disebut juga dengan ilmu kalam, yaitu Ilmu kalam Allah (sabda Tuhan) karena al-kalam itupun masih menyisakan pertanyaan, yakni apakah al-kalam itu sesungguhnya ‘kalam Tuhan’ ataukah ia hanya “kalam manusia”, karena betapapun, sabda Tuhan itu dapat diketahui hanya setelah mempunyai pembacaan, penafsiran dan pemahaman manuisa. Dengan demikian “kalam manusia” menjadi diskursus tentang “kalam Tuhan” berdasarkan pikiran, perasaan dan perkataan manusia, Ilmu kalam menjadi studi tentang siapa dan bagaimana Tuhan” (hadits an allah; discours sur dieu) dan bukan mengenai “apa kata Tuhan” (hadis min Allah; discours de dieu).
Dengan demikian, teologi antoposentris sebenarnya adalah antitesis dari teologi (kalam) klasik dengan mainstream yang bercorak teosentris, beroeientasi pada persoalan ketuhanan. Menurut Hassan Hanafi teologi klasik belum dapat menjawab sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan mmberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit umat manusia. Secara praxis, teologi (kalam) klasik gagal menjawab, semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata umat Islam. Teologi (kalam) klasik dituntut dapat berperan serta dalam memberikan jawaban terhadap isyu-isyu kemanusiaan universal, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan lain-lain.
Orientasi teologi antroposentris adalah manusia, sudah tidak menjadikan Tuhan sebagai pusat dari segala pergulatan pemikiran. Sasaran teologi antroposentris adalah mengekploitasi wilayah kemanusiaan, peduli terhadap perubahan sosial, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Sudah tidak saatnya teologi harus selalu membela Tuhan, karena Tuhan sebenarnya tidak butuh pembelaan manusia. Tuhan dibela atau tidak dibela oleh manusia, dia tetap dzat yang Maha Tinggi. Pembelaan manusia tidak semakin meningkatkan derajat Tuhan. Oleh karena itu, teologi antroposentris lebih menjadikan manusia sebagai pusat segala sesuatu, menjadikan urusan dunia sebagai urusan manusia. Dunia dipandang dengan perspektif “dunia” sehingga dunia tidak selalu didekati dengan perspektif Ilahi, meskipun yang bersifat ilahi tidak dapat ditolak sama sekali.
Adapun yang ditransfer dalam teologi ini adalah nilai dari Ketuhanan itu sendiri pada sosial masyarakat. Manusia akan menganggap bahwa dirinya ada karena Tuhan yang menciptakannya. Melihat perkembangan jaman membuat manusia lalai dan lupa pada diri sendiri dan lebih memikirkan kehidupannya saat ini. Upaya ini dilakukan agar mereka paham dan yakin bahwa teologi (ilmu kalam) sangatlah penting dalam kehidupan, baik mereka beragama islam, maupun non muslim. Mereka akan saling menjunjung tinggi nilai teologi dalam kehidupannya.






BAB III
PENUTUP
Pemikiran Islam transformatif adalah pemikiran baru. Meskipun gagasan dasarnya sudah lama, yakni menghendaki agar kaum muslim menciptakan tata sosial-moral yang adil dan egaliter, dalam rangka menghilangkan penyelewengan di atas dunia, fasd fi al-ardl, melalui pertimbangan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu social. Jadi pengertian Islam transformatif di sini menjadi sangat jelas. Islam transformatif merupakan pencarian dialogis, yakni agama harus membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangansosial. Adapun konsep teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama pada dasarnya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Transformasi kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan lebih dekat dengan tatanan yang ideal, untuk mengorganisir diri dalam memperbaiki harkat hidup dan martabatnya sebagai manusia yang manusiawi.





DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali Enginer, Islam Dan Teologi Pembangunan,terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999.
Hassan Hanafi, Islam In The Modern World Religion, Ideology and Development (Heliopolis: Dar Kebaa Book Shop, t.th).jld II.
Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, Yogyakarta: Sipres, 1998.
Rumadi, Masyarakat Post-teologi, Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia. Jakarta: CV Mustika Bahmid,2002
Nurcholis Madjid ,Aktualisasi Ajaran aswaja”, dalam Islam Menatap Masa Depan (Jakarta; P3M,1989), hlm.61
Airlangga Pribadi & M. Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal Membangun Dentuman Mentradisikan Eksperimentasi. Jakarta PT. Pasarindo Bunga Mas Nagari, 2002
Amin Abdullah, Filsafat Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Hassan Hanafi, Dirasah Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Mishriyyah, t.th.





TEOLOGI ANTROPOSENTRIS TRANSFORMATIF

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran Dalam Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Khoirudin A, M.A

Disusun oleh:
Awang Yulias Supardi
015.10.09.1468/015.MPI.065

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA




[1] Asghar Ali Enginer, Islam Dan Teologi Pembangunan,terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),hlm.15
[2] Hassan Hanafi, Islam In The Modern World Religion, Ideology and Development (Heliopolis: Dar Kebaa Book Shop, t.th).jld II, hlm.122.

[3] Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, (Yogyakarta: Sipres, 1998), hlm. 166.
[4] Rumadi, Masyarakat Post-teologi, Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Jakarta: CV Mustika Bahmid,2002), hlm.23
[5] Nurcholis Madjid ,Aktualisasi Ajaran aswaja”, dalam Islam Menatap Masa Depan (Jakarta; P3M,1989), hlm.61
[6] Airlangga Pribadi & M. Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal Membangun Dentuman Mentradisikan Eksperimentasi (Jakarta PT. Pasarindo Bunga Mas Nagari, 2002), hlm.89-90
[7] Amin Abdullah, Filsafat Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.42
[8] Hassan Hanafi, Dirasah Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Mishriyyah, t.th), hlm.394-415

Tidak ada komentar:

Posting Komentar