Senin, 25 Januari 2016

BERPIKIR DALAM PRESPEKTIF AL QURAN



BERPIKIR DALAM PRESPEKTIF AL QURAN

A.    Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan modern sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji, tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk Tuhan lainnya, mereka mempunyai akal yang digunakan untuk berpikir praktis maupun dinamis. Al-Quran sebagai dasar dalam berpikir manusia sudah menjelaskan dengan gamblang bahwa dengan berpikir manusia tidak akan dapat ditipu ataupun diperdaya oleh yang lainnya. Makalah ini akan menjelaskan berpikir dalam presfektif Al-Quran. Menjelaskan tentang langka-langkah yang harus dicapai, kelebihan dan kekurangan dalam penjabarannya, berikut penjelasannya.

B.     Pembahasan
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak.  Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.
1.      Model-Model Berpikir
Awalnya orang beranggapan bahwa berpikir itu ditentukan oleh anggapan, karena menurut mereka proses berpikir semata-mata merupakan pertautan tanggapan-tanggapan secara mekanis, sehingga orang yang berpikir itu sifatnya pasif. Namun pada era psikologi sekarang, orang yang berpikir sebenarnya tidak diam (pasif) tetapi jiwanya juga aktif berusaha untuk memecahkan suatu permasalahan. Oleh karena itu, pada era ini orang yang berpikir lebih tepat dikatakan dinamis. Berpikir juga merupakan; a) Pembentukan konsep, b) Adanya rasa ingin tahu, c) Adanya proses kognitif dalam pikiran, d) Membuat hubungan yang satu dengan yang lainnya dan lain sebagainya.
Secara umum, berpikir dapat dikatan sebagai kemampuan untuk menghubung-hubungkan (asosiasi) sesuatu dengan sesuatu yang lainnya untuk memecahkan suatu persoalan atau permasalahan. Menghubung-hubungkan disini merupakan menghubungkan sesuai dengan yang kita inginkan dan faktor psikologisnya dimana hubungannya diputuskan pada saat berpikir. Hasil dari menghubungkan tersebut berupa dapat memecahkan masalah, adanya ide-ide baru serta gagasan yang lainnya dalam berpikir. Ada tiga cara model berpikir yang berkembang dalam sejarah dan sekaligus menjadi tolok ukur kebenaran, yaitu: model berpikir rasio, empirical, dan intuitif.[1]
Model berfpikir rasio berpusat pada akal dengan cara menggunakan logika atau berpikir secara logis. Dalah hal ini akal akan menentukan segala sesuatu dengan rasional dan logika yang dapat diterima atau tidaknya oleh akal. Model berpikir empirical berpusat pada fenomena yang ada dengan cara melihat sesuatu yang terjadi disekitarnya atau yang dialami dalam kehidupannya. Dalam hal ini indera manusia sebagai pusatnya, apabila mata tidak dapat melihat maka tidak akan dapat merasakan dan menggunakan metode tersebut. Selanjutnya model intuitif (irrasional) menggunakan pertimbangan-pertimbangan emosional. Cara ini cukup menguras tenaga dalam menjalannkannya dikarenakan kepuasan hati-lah yang menjadi pusatnya. Apabila hati belum merasa puas maka akan terus berusaha mencapai kepuasan. Maka dari itu model ini dirasa cukup sulit dan sangat mudah tergantung emosi hati seseorang.
Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa macam cara yakni; a) Model Linguistik (bayani), b) Model Demonstratif (burhani), c) Model Gnostik (‘irfani).[2]
 Model kajian bayani merupakan kajian dalam bentuk tekstual dan berpusat pada nash maupun non-nash. Model ini mempunyai objek umum dalam kajiannya berupa sastra, hukum, folologi, teologi dan ilmu-ilmu dalam bidang hadist. Model kajian bayani dapat dikatakan cara berpikir dengan menepatkan teks suatu ajaran mutlak yang harus dijadikan pedoman dan tidak dapat ditolak keberadaannya.
Model kajian burhani merupakan kajian dalam bentuk pengalaman dan berdasarkan kemapuan komponen alamiah manusia berupa indera. Model ini berpusat pada realitas dan empiris dengan objek kajiaanya alam, sosial dan ilmu-ilmu penelitian (humanities). Model kajian ini dapat dikatakan pengalaman adalah hal yang utama sebagai dasar kajian dan realita sebagai wujud nyata dalam menguatkan suatu hal yang terjadi serta dengan adanya penelitian menjadikan model berpikir ini menjadi lebih sempurna.
Model kajian ‘irfani merupakan kajian dalam bentuk spiritual manusia dan berdasarkan intuisi. Kajian ini berpusat pada jiwa spiritual manusia yang didasarkan pada konsep-konsep dalam tasawuf yakni; Takhliyah, Tabliyah dan Tajliyah. Jiwa spiritual manusia yang menjalankan metode ini tanpa adanya jiwa spiritual, manusia tidak akan dapat mencapai pada taraf berpikir secara mendalam.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya model berpikir secara epistemologi dan secara kajian keislaman memiliki persamaan yang cukup besar dan sedikit sekali perbedaan didalamnya. Maka dari itu manusia sebagai mahluk berpikir menjadikan metode-metode tersebut sebagai dasar pemikiran dan sebagai pertimbangan dalam menentukan suatu pilihan atau keputusan manusia tidak boleh hanya menggunakan salah satu metode saja dalam menentukan suatu pilihan melainkan memadupadankan metode satu dengan metode yang laniinya. Misalnya berpikir dengan metode burhani yang memusatkan pada teks serta dipadukan dengan bayani yang berpusat pada pengalaman.
2.      Dampak Berpikir Presfektif
Seringkali ketika kita mengalami suatu kesulitan dalam hidup, kita berpikir negative terhadap sesuatu salah satunya adalah perjalanan hidup. Dimana Tuhan mungkin tidak mempunyai rasa saying pada diri sehingga menerima cobaan hidup yang begitu pedih.  Padahal, dengan cobaan kesulitan tersebut, justru Tuhan menghendaki kebaikan bagi diri kita. Tuhan hendak mendidik dan menempa kita agar menjadi manusia yang unggul. Selain itu, dibalik cobaan tersebut Tuhan telah menyiapkan karunia yang besar bagi kita ketika lulus dari cobaan. Jadi, sungguh tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk berpikir negative. Sebab, selain merupakan akhlak mazmumah (tercela), juga merugikan diri sendiri. Berpikir negatif akan membuat kita menjadi pesimis,kehilangan harapan dan putus asa.[3]
Kita harus yakin bahwa segala ketentuan Tuhan adalah yang terbaik. Kuncinya, berpikir positif terhadap segala sesuatu. Sebab, boleh jadi apa yang menurut kita baik, sebenarnya tidak baik bagi kita. Sebaliknya, boleh jadi apa yang menurut kita tidak  baik, sebenarnya baik bagi kita
a.       Dampak Negatif
Orang yang lalai akan melakukan pekerjaan-pekerjaannya tanpa ketelitian dan berpikir jauh ke depan. Ia tidak peduli dengan hak-hak dunia dan akhirat serta peringatan-peringatan mengenai berbagai peristiwa pahit dan manis dalam kehidupan manusia. Ketidaktahuan atas fakta-fakta itu dan tidak mampu untuk mengambil sikap yang benar untuk meresponnya adalah bahaya besar yang mengancam kebahagiaan manusia. Menurut pandangan Al-Quran, lalai akan menyebabkan manusia memahami kehidupan dunia ini hanya dari sisi fisiknya saja, dan ia tidak akan memperhatikan batin dan hakikat kehidupan tersebut yaitu akhirat. Dalam Surat ar-Rum Ayat 7, TuhanSwt berfirman, "Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia. Sedangkan mereka terhadap kehidupan akhirat adalah lalai." [4]
Berdasarkan Al-Quran, perilaku yang tidak benar dan perbuatan dosa akan menurunkan kemampuan penilaian dan pemahaman manusia, dan menghilangkan pikiran sehatnya secara bertahap. Seseorang yang terus tenggelam dalam jalan keliru tersebut, hati, mata dan telinganya akan semakin tertutup oleh tirai kelalaian dan ketidaktahuan. Jika hal itu terjadi, ia akan sampai pada kondisi di mana ia memiliki mata tetapi seakan-akan tidak dapat melihat dan mempunyai telinga, namun tidak mendengar. Dengan demikian, hati orang tersebut untuk menuju hakikat dan kebenaran akan tertutup.

b.      Dampak Positif
Islam telah menaruh perhatian besar akan perkembangan berpikir manusia dengan menyerukannya untuk mengamati semua yang ada di langit dan di bumi, mengamati diri sendiri, mengamati semua makhluk-Nya. Tuhan menjelaskan pentingnya proses berpikir dalam kehidupan manusia. Juga menjelaskan bagaimana Dia mengangkat  derajat dan nilai orang-orang yang mempergunakan akal dan pikirannya. Rasulullah juga menjelaskan keutamaan berpikir dengan menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat Al-Quran dan juga merenungkan semua penciptaan-Nya. Ada beberapa macam ciri-ciri orang berpikir positif diantaranya:[5] beriman kepada Tuhan, mempunyai nilai luhur, selalu bisa menyelesaikan masalah dan lain sebagainya.

3.      Telaah Dalam Al-Quran[6]
a.       Surah Ar Ruum Ayat 8

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8) 
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Tuhan tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhan-Nya.(QS. 30:8)”

Ayat ini ditujukan kepada orang musyrik Mekah, orang-orang kafir dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Jika dilihat dari sikap mereka terhadap seruan Nabi saw, kelihatan seakan-akan mereka tidak mau menggunakan akal pikiran mereka, untuk memikirkan segala sesuatu yang mereka lihat, agar mereka percaya kepada yang disampaikan terhadap mereka. Ayat ini menyuruh agar mereka memperhatikan diri mereka sendiri. Mereka dijadikan dari tanah, kemudian menjadi setetes mani, kemudian menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kemudian mereka mengadakan perkawinan dan berkembang biak, seakan-akan Allah SWT mengatakan kepada mereka: "Cobalah perhatikan dirimu yang paling dekat dengan kamu, sebelum membayangkan pandanganmu kepada yang lain.”
Jika manusia memperhatikan dirinya sendiri dengan baik dan sadar seperti susunan urat syaraf, pembuluh darah, paru-paru, hati, jiwa dan sebagainya, kemudian dengan susunan yang rapi itu manusia dapat berjalan, berbicara, berpikir dan sebagainya, tentulah mereka sampai kepada kesimpulan bahwa yang menciptakan manusia itu adalah Tuhan yang berhak di sembah, Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi Pengetahuannya. 
Allah SWT menegaskan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya adalah dengan penuh kebijaksanaan, ada maksud dan tujuannya. Semuanya itu diciptakan atas dasar kebenaran, dengan hukum-hukum yang rapi dan tertentu, tidak bertentangan antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Alam semesta ini tidak dijadikan dengan sia-sia dan cuma-cuma, tidak ada maksud dan tujuannya, tetapi ada maksud dan tujuannya yang seterusnya hanya Dialah Yang Mengetahuinya. 
Demikianlah alam diciptakan dan berlangsung untuk waktu yang ditentukan. Setelah waktu yang ditentukan itu akan ada alam akhirat, disana akan disempurnakan keadilan Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.  Dalam pada itu sebagai sesuatu yang ada di alam ini; ada pula masa permulaan kejadiannya dan ada pula masa berakhirnya. Tiap-tiap sesuatu pasti ada awal waktunya dan pasti pula ada akhir waktunya. Walau permulaan dan akhir segala sesuatu hanya Dia yang menciptakan tidak seorangpun yang sanggup merubahnya, walaupun sesaat, kecuali jika Dia menghendaki-Nya. Demikianlah Sunatullah pada diri manusia dan alam semesta ini, tetapi kebanyakan manusia tidak mau merenungkannya, sehingga kebanyakan manusia tidak percaya kepada adanya hari akhirat itu. 

b.      Surat Al An’aam Ayat 74-79[7]
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٧٤) وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (٧٥) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ   (٧٦) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (٧٧) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (٧٨) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٧٩)
“74. Dan (ingatlah) ketika Ibrahi berkata kepada ayahnya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?" Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." 75. Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. 76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, "Inikah Tuhanku?" Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." 77. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inikah Tuhanku?" Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." 78. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inikah Tuhanku?", ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." 79. Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”

c.       Surat Az Zkhuruf Ayat 22-23
أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ (٢١) بَلْ قَالُوا  مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (٢٣)
“22. Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka.” 23. Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.”

C.     Penutup
Berpikir dalam prespektif Al-Quran merupakan cara berpikir yang cukup komplek dilakukan manusia dalam menghadapi atau menentukan sesuatu. Dari berbagai metode yang ada baik menggunakan metode secara epistemologi maupun menggunakan metode kajian keislaman yang mana mempunyai kesamaan dan sedikit perbedaan. Dampak yang ditimbulkan dengan berpikir berdasarkan prespektif Al-Quran tidak memberikan dampak yang signifikan baik secara negatif maupun positif, semua mempunyai keterkaiatan dan mempunyai kedudukan masing-masing dalam setiap persoalannya.
Adapun dalam Al-Quran sebagai dasar manusia dalam kehidupannya sudah menjelaskan dengan gamblang bahwa sebelum kita berpikir terlalu jauh berpikirlah bahawa siapa diri kita. Hal ini cukup menekan pada pikiran manusia apabila kita mencapai pada pikiran tersebut. Kita dapat menyadari bahwa kita bukanlah siapa-siapa dan tidak ada apa-apa dibandingkan dengan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Banyak manusia yang lalai dalam berpikir dan mengganggap bahwa dialah yang memiliki segalanya. Kita harus menghilangkan anggapan seperti ini karena ini bukanlah hasil dari pikiran kita.

Referensi
El-Bantani, Syafi’ie. Kekuatan Berpikir Positif. Jakarta: Wahyu Media, 2010.
Nasution, M.A, Prof. Dr. Khoruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2012.
http://www.tafsir.web.id/p/daftar-isi.html// diakses pada tanggal 10-10-2015.


















BERFIKIR DALAM PRESPEKTIF AL-QURAN






Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al-Quran Tarbawi
Dosen Pengampu: Dr. H. Aminullah, M.A



Disusun oleh:
Erna Suci Rahayu         : 015.10.09.1467
Awang Yulias Supardi : 015.10.09.1468


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUARAKARTA




[1] Prof. Dr. Khoruddin Nasution, M.A, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2012), h. 39.
[2] Ibid, h. 41.
[3] Syafi’ie El-Bantani, Kekuatan Berpikir Positif (Jakarta: Wahyu Media, 2010), h. 78-79.
[5] Syafi’ie El-Bantani, Kekuatan Berpikir Positif h. 177-178.
[6] http://www.tafsir.web.id/p/daftar-isi.html// diakses pada tanggal 10-10-2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar