BERPIKIR DALAM
PRESPEKTIF AL QURAN
A. Pendahuluan
Pendidikan
memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan proses
transformasi dan aktualisasi pengetahuan modern sulit untuk diwujudkan.
Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam
pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui
metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji, tanpa melalui proses ini
pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Manusia
merupakan mahluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk Tuhan lainnya,
mereka mempunyai akal yang digunakan untuk berpikir praktis maupun dinamis. Al-Quran
sebagai dasar dalam berpikir manusia sudah menjelaskan dengan gamblang bahwa dengan
berpikir manusia tidak akan dapat ditipu ataupun diperdaya oleh yang lainnya.
Makalah ini akan menjelaskan berpikir dalam presfektif Al-Quran. Menjelaskan
tentang langka-langkah yang harus dicapai, kelebihan dan kekurangan dalam
penjabarannya, berikut penjelasannya.
B. Pembahasan
Berpikir
adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa
dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja
organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh
pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan
sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif
dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek
tersebut.
Berpikir
juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami
atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir
juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung,
mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau
membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang
ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari
premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.
1. Model-Model Berpikir
Awalnya orang beranggapan bahwa berpikir itu
ditentukan oleh anggapan, karena menurut mereka proses berpikir semata-mata
merupakan pertautan tanggapan-tanggapan secara mekanis, sehingga orang yang berpikir
itu sifatnya pasif. Namun pada era
psikologi sekarang, orang yang berpikir sebenarnya tidak diam (pasif) tetapi
jiwanya juga aktif berusaha untuk memecahkan suatu permasalahan. Oleh karena
itu, pada era ini orang yang berpikir
lebih tepat dikatakan dinamis. Berpikir juga merupakan; a) Pembentukan konsep, b) Adanya rasa
ingin tahu, c) Adanya proses kognitif dalam pikiran, d) Membuat hubungan yang
satu dengan yang lainnya dan lain sebagainya.
Secara umum, berpikir dapat dikatan sebagai
kemampuan untuk menghubung-hubungkan (asosiasi) sesuatu dengan sesuatu yang
lainnya untuk memecahkan suatu persoalan atau permasalahan.
Menghubung-hubungkan disini merupakan menghubungkan sesuai dengan yang kita
inginkan dan faktor psikologisnya dimana hubungannya diputuskan pada saat
berpikir. Hasil dari menghubungkan tersebut berupa dapat memecahkan masalah,
adanya ide-ide baru serta gagasan yang lainnya dalam berpikir. Ada tiga cara
model berpikir yang berkembang dalam sejarah dan sekaligus menjadi tolok ukur
kebenaran, yaitu: model berpikir rasio, empirical, dan intuitif.[1]
Model berfpikir rasio berpusat pada akal dengan cara
menggunakan logika atau berpikir secara logis. Dalah hal ini akal akan
menentukan segala sesuatu dengan rasional dan logika yang dapat diterima atau
tidaknya oleh akal. Model berpikir empirical berpusat pada fenomena yang ada
dengan cara melihat sesuatu yang terjadi disekitarnya atau yang dialami dalam
kehidupannya. Dalam hal ini indera manusia sebagai pusatnya, apabila mata tidak
dapat melihat maka tidak akan dapat merasakan dan menggunakan metode tersebut.
Selanjutnya model intuitif (irrasional) menggunakan pertimbangan-pertimbangan
emosional. Cara ini cukup menguras tenaga dalam menjalannkannya dikarenakan
kepuasan hati-lah yang menjadi pusatnya. Apabila hati belum merasa puas maka
akan terus berusaha mencapai kepuasan. Maka dari itu model ini dirasa cukup
sulit dan sangat mudah tergantung emosi hati seseorang.
Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa
macam cara yakni; a) Model Linguistik (bayani),
b) Model Demonstratif (burhani), c)
Model Gnostik (‘irfani).[2]
Model kajian bayani merupakan kajian dalam bentuk
tekstual dan berpusat pada nash maupun non-nash. Model ini mempunyai objek umum
dalam kajiannya berupa sastra, hukum, folologi, teologi dan ilmu-ilmu dalam
bidang hadist. Model kajian bayani
dapat dikatakan cara berpikir dengan menepatkan teks suatu ajaran mutlak yang
harus dijadikan pedoman dan tidak dapat ditolak keberadaannya.
Model kajian burhani
merupakan kajian dalam bentuk pengalaman dan berdasarkan kemapuan komponen
alamiah manusia berupa indera. Model ini berpusat pada realitas dan empiris
dengan objek kajiaanya alam, sosial dan ilmu-ilmu penelitian (humanities).
Model kajian ini dapat dikatakan pengalaman adalah hal yang utama sebagai dasar
kajian dan realita sebagai wujud nyata dalam menguatkan suatu hal yang terjadi
serta dengan adanya penelitian menjadikan model berpikir ini menjadi lebih
sempurna.
Model kajian ‘irfani
merupakan kajian dalam bentuk spiritual manusia dan berdasarkan intuisi. Kajian
ini berpusat pada jiwa spiritual manusia yang didasarkan pada konsep-konsep
dalam tasawuf yakni; Takhliyah, Tabliyah
dan Tajliyah. Jiwa spiritual manusia yang menjalankan metode ini tanpa
adanya jiwa spiritual, manusia tidak akan dapat mencapai pada taraf berpikir
secara mendalam.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya model
berpikir secara epistemologi dan secara kajian keislaman memiliki persamaan
yang cukup besar dan sedikit sekali perbedaan didalamnya. Maka dari itu manusia
sebagai mahluk berpikir menjadikan metode-metode tersebut sebagai dasar
pemikiran dan sebagai pertimbangan dalam menentukan suatu pilihan atau
keputusan manusia tidak boleh hanya menggunakan salah satu metode saja dalam
menentukan suatu pilihan melainkan memadupadankan metode satu dengan metode
yang laniinya. Misalnya berpikir dengan metode burhani yang memusatkan pada
teks serta dipadukan dengan bayani yang berpusat pada pengalaman.
2. Dampak Berpikir Presfektif
Seringkali
ketika kita mengalami suatu kesulitan dalam hidup, kita berpikir negative
terhadap sesuatu salah satunya adalah perjalanan hidup. Dimana Tuhan mungkin
tidak mempunyai rasa saying pada diri sehingga menerima cobaan hidup yang
begitu pedih. Padahal, dengan cobaan
kesulitan tersebut, justru Tuhan menghendaki kebaikan bagi diri kita. Tuhan
hendak mendidik dan menempa kita agar menjadi manusia yang unggul. Selain itu,
dibalik cobaan tersebut Tuhan telah menyiapkan karunia yang besar bagi kita
ketika lulus dari cobaan. Jadi, sungguh tidak ada alasan apa pun bagi kita
untuk berpikir negative. Sebab, selain merupakan akhlak mazmumah
(tercela), juga merugikan diri sendiri. Berpikir negatif akan membuat kita
menjadi pesimis,kehilangan harapan dan putus asa.[3]
Kita harus
yakin bahwa segala ketentuan Tuhan adalah yang terbaik. Kuncinya, berpikir
positif terhadap segala sesuatu. Sebab, boleh jadi apa yang menurut kita baik,
sebenarnya tidak baik bagi kita. Sebaliknya, boleh jadi apa yang menurut kita
tidak baik, sebenarnya baik bagi kita
a. Dampak Negatif
Orang
yang lalai akan melakukan pekerjaan-pekerjaannya tanpa ketelitian dan berpikir
jauh ke depan. Ia tidak peduli dengan hak-hak dunia dan akhirat serta
peringatan-peringatan mengenai berbagai peristiwa pahit dan manis dalam
kehidupan manusia. Ketidaktahuan atas fakta-fakta itu dan tidak mampu untuk
mengambil sikap yang benar untuk meresponnya adalah bahaya besar yang mengancam
kebahagiaan manusia. Menurut pandangan Al-Quran, lalai akan menyebabkan manusia
memahami kehidupan dunia ini hanya dari sisi fisiknya saja, dan ia tidak akan
memperhatikan batin dan hakikat kehidupan tersebut yaitu akhirat. Dalam Surat
ar-Rum Ayat 7, TuhanSwt berfirman, "Mereka hanya mengetahui yang lahir
saja dari kehidupan dunia. Sedangkan mereka terhadap kehidupan akhirat adalah
lalai." [4]
Berdasarkan
Al-Quran, perilaku yang tidak benar dan perbuatan dosa akan menurunkan
kemampuan penilaian dan pemahaman manusia, dan menghilangkan pikiran sehatnya
secara bertahap. Seseorang yang terus tenggelam dalam jalan keliru tersebut,
hati, mata dan telinganya akan semakin tertutup oleh tirai kelalaian dan
ketidaktahuan. Jika hal itu terjadi, ia akan sampai pada kondisi di mana ia
memiliki mata tetapi seakan-akan tidak dapat melihat dan mempunyai telinga,
namun tidak mendengar. Dengan demikian, hati orang tersebut untuk menuju
hakikat dan kebenaran akan tertutup.
b. Dampak Positif
Islam telah menaruh perhatian besar akan
perkembangan berpikir manusia dengan menyerukannya untuk mengamati semua yang
ada di langit dan di bumi, mengamati diri sendiri, mengamati semua makhluk-Nya.
Tuhan menjelaskan pentingnya proses berpikir dalam kehidupan manusia. Juga
menjelaskan bagaimana Dia mengangkat derajat dan nilai orang-orang yang
mempergunakan akal dan pikirannya. Rasulullah juga menjelaskan keutamaan
berpikir dengan menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat Al-Quran dan juga
merenungkan semua penciptaan-Nya. Ada beberapa macam ciri-ciri orang berpikir
positif diantaranya:[5]
beriman kepada Tuhan, mempunyai nilai luhur, selalu bisa menyelesaikan masalah
dan lain sebagainya.
3. Telaah Dalam Al-Quran[6]
a. Surah Ar Ruum Ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Tuhan
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan
dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya
kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhan-Nya.(QS. 30:8)”
Ayat ini ditujukan
kepada orang musyrik Mekah, orang-orang kafir dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Allah. Jika dilihat dari sikap mereka terhadap seruan Nabi saw,
kelihatan seakan-akan mereka tidak mau menggunakan akal pikiran mereka, untuk
memikirkan segala sesuatu yang mereka lihat, agar mereka percaya kepada yang
disampaikan terhadap mereka. Ayat ini menyuruh agar mereka memperhatikan
diri mereka sendiri. Mereka dijadikan dari tanah, kemudian menjadi setetes
mani, kemudian menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kemudian
mereka mengadakan perkawinan dan berkembang biak, seakan-akan Allah SWT
mengatakan kepada mereka: "Cobalah perhatikan dirimu yang paling dekat
dengan kamu, sebelum membayangkan pandanganmu kepada yang lain.”
Jika manusia
memperhatikan dirinya sendiri dengan baik dan sadar seperti susunan urat
syaraf, pembuluh darah, paru-paru, hati, jiwa dan sebagainya, kemudian dengan
susunan yang rapi itu manusia dapat berjalan, berbicara, berpikir dan
sebagainya, tentulah mereka sampai kepada kesimpulan bahwa yang menciptakan
manusia itu adalah Tuhan yang berhak di sembah, Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi
Pengetahuannya.
Allah SWT
menegaskan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya adalah
dengan penuh kebijaksanaan, ada maksud dan tujuannya. Semuanya itu diciptakan
atas dasar kebenaran, dengan hukum-hukum yang rapi dan tertentu, tidak
bertentangan antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Alam semesta ini
tidak dijadikan dengan sia-sia dan cuma-cuma, tidak ada maksud dan tujuannya,
tetapi ada maksud dan tujuannya yang seterusnya hanya Dialah Yang
Mengetahuinya.
Demikianlah alam
diciptakan dan berlangsung untuk waktu yang ditentukan. Setelah waktu yang
ditentukan itu akan ada alam akhirat, disana akan disempurnakan keadilan Tuhan
kepada makhluk-makhluk-Nya. Dalam pada itu sebagai
sesuatu yang ada di alam ini; ada pula masa permulaan kejadiannya dan ada pula
masa berakhirnya. Tiap-tiap sesuatu pasti ada awal waktunya dan pasti pula ada
akhir waktunya. Walau permulaan dan akhir segala sesuatu hanya Dia yang
menciptakan tidak seorangpun yang sanggup merubahnya, walaupun sesaat, kecuali
jika Dia menghendaki-Nya. Demikianlah Sunatullah pada diri manusia dan
alam semesta ini, tetapi kebanyakan manusia tidak mau merenungkannya, sehingga
kebanyakan manusia tidak percaya kepada adanya hari akhirat itu.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ
أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٧٤) وَكَذَلِكَ
نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ
الْمُوقِنِينَ (٧٥) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ
هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ (٧٦)
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ
لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (٧٧)
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا
أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (٧٨) إِنِّي وَجَّهْتُ
وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (٧٩)
“74.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahi berkata kepada ayahnya, Aazar, "Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?" Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." 75. Dan demikianlah
Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan
bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. 76. Ketika malam telah
menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata,
"Inikah Tuhanku?" Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata,
"Aku tidak suka kepada yang terbenam." 77. Lalu
ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inikah Tuhanku?" Tetapi
ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." 78.
Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inikah
Tuhanku?", ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia
berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan." 79. Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
c.
Surat
Az Zkhuruf Ayat 22-23
أَمْ
آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ (٢١) بَلْ
قَالُوا مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا
عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (٢٣)
“22. Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek
moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk dengan mengikuti
jejak mereka.” 23. Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi
peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup
mewah (di negeri itu) selalu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek
moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami sekadar pengikut
jejak-jejak mereka.”
C. Penutup
Berpikir
dalam prespektif Al-Quran merupakan cara berpikir yang cukup komplek dilakukan
manusia dalam menghadapi atau menentukan sesuatu. Dari berbagai metode yang ada
baik menggunakan metode secara epistemologi maupun menggunakan metode kajian
keislaman yang mana mempunyai kesamaan dan sedikit perbedaan. Dampak yang
ditimbulkan dengan berpikir berdasarkan prespektif Al-Quran tidak memberikan
dampak yang signifikan baik secara negatif maupun positif, semua mempunyai
keterkaiatan dan mempunyai kedudukan masing-masing dalam setiap persoalannya.
Adapun
dalam Al-Quran sebagai dasar manusia dalam kehidupannya sudah menjelaskan
dengan gamblang bahwa sebelum kita berpikir terlalu jauh berpikirlah bahawa
siapa diri kita. Hal ini cukup menekan pada pikiran manusia apabila kita
mencapai pada pikiran tersebut. Kita dapat menyadari bahwa kita bukanlah
siapa-siapa dan tidak ada apa-apa dibandingkan dengan Tuhan yang menciptakan
alam semesta ini. Banyak manusia yang lalai dalam berpikir dan mengganggap
bahwa dialah yang memiliki segalanya. Kita harus menghilangkan anggapan seperti
ini karena ini bukanlah hasil dari pikiran kita.
Referensi
El-Bantani,
Syafi’ie. Kekuatan Berpikir Positif.
Jakarta: Wahyu Media, 2010.
Nasution, M.A, Prof. Dr. Khoruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:
Academia Tazzafa, 2012.
http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/87027-kelalaian-dalam-perspektif-quran//
diakses pada tanggal 10-10-2015.
http://www.tafsir.web.id/p/daftar-isi.html//
diakses pada tanggal 10-10-2015.
http://www.tafsir.web.id/2013/02/tafsir-al-anaam-ayat-74-83.//
diakses pada tanggal
10-10-2015.
BERFIKIR DALAM
PRESPEKTIF AL-QURAN
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al-Quran Tarbawi
Dosen Pengampu: Dr. H. Aminullah,
M.A
Disusun oleh:
Erna Suci Rahayu :
015.10.09.1467
Awang Yulias Supardi :
015.10.09.1468
PRODI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL
ULAMA SUARAKARTA
[1] Prof. Dr. Khoruddin
Nasution, M.A, Pengantar Studi Islam
(Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2012), h. 39.
[2] Ibid, h. 41.
[4]http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/87027-kelalaian-dalam-perspektif-quran//
diakses pada tanggal 10-10-2015.
[6] http://www.tafsir.web.id/p/daftar-isi.html//
diakses pada tanggal 10-10-2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar