Senin, 25 Januari 2016

PERADABAN ISLAM DI MASA ALI BIN ABI THALIB


PERADABAN ISLAM DI MASA
ALI BIN ABI THALIB

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Dr.H.Amir Mahmud, M.Ag.

0-tugas-pak-makmun-hari-ini_odt_745e7e331

Disusun Oleh:
Miftah Arif Budi Kusumo
NIRM    : 015.10.09.1456
PROGRAM PASCA SARJANA MEGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
TAHUN 2016


SEJARAH PERADABAN ISLAM DI MASA ALI BIN ABI THALIB
BAB I
PENDAHULUAN
      I.Latar Belakang
Islam pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin berkembang sangat pesat, dimana dimulai setelah kedaulatan Nabi hingga ke Timur Tengah dan bahkan di luar daerah itu. Islam dikembangkan dengan mengajarkan nilai-nilai demokratis terutama dalam pengangkatan seorang khalifah. Ini bisa dilihat dalam berbagai peristiwa pengangkatan Khulafa al-Rasyidin walaupun caranya berbeda-beda tetapi intinya sama yaitu menjunjung nilai bermusyawarah untuk mufakat.
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah khalifah terakhir masa khulafa’ ar-Rasyidin dimana masa ini adalah masa yang sangat kritis politik dalam negeri karena banyak pemberontakan demi menuntut kematian khalifah Utsman yang dianggap didalangi oleh khalifah Ali.
Maka dari itu dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas kehidupan Ali, bagaiamana Ali dibaiat sebagai khalifah, kemudian kebijakan-kebijakan apa yang dilakukan Ali dalam pemerintahannya?

II. RumusanMasalah
  1. BagaimanaKehidupanKhalifah Ali Bin AbiTholib ?
  2. BagaimanaPembaiatanKhalifah Ali Bin AbiThalib ?
  3. ApaKebijakanKhalifah Ali Bin AbiThalibdalamPemerintahan ?

III.Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui kehidupan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
  2. Untuk mengetahuai pembaiatan Khalifah Ali Bin Abi Tholib
  3. Untuk mengetahui kebijakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam pemerintahan

1
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Sekilas Tentang Kehidupan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Tholib bin Abdil Mutholib, putra dari paman Rasulullah dan suami dari  Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasul yang mempunyai keturunan.
Sepanjang hayatnya, Ali bin Abi Thalib tidak pernah sujud dihadapan berhala. Sujud pertamanya dan sujud selamanya hanya untuk Allah SWT. Karena itulah ia dijuluki “karramallahuwajhah- Allah memuliakan wajahnya”. Ia telah masuk islam di usia yang sangat dini, sepuluh tahun. Dialah anak-anak pertama dalam islam. Bahkan sebagian mengatakan bahwa dialah muslim pertama setelah Rasulullah SAW
Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan,  Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan islam, baik di Makkah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang putri Rasulullah SAW.
Setelah keislamannya, ia mencari ilmu pengetahuan dan akhlak yang mulia dari Baginda Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil ia dididik di Madrasah Nubuwah di bawah bimbingan pengajar dan pembimbing paling agung Rasulullah Muhammad SAW.
Ujian pertama yang dihadapi oleh Ali bin Abi Tholib di jalan islam adalah di malam hijrah ketika ia diminta untuk menggantikan Rasulullah SAW. Ia harus tidur diatas pembaringan Rasulullah SAW dan mangenakan jubah beliau. Pejuang dan pahlawan kecil ini menguatkan iman dan tekadnya sehingga ia layak disebut pejuang cilik.
Ali sejak kecil sudah dididik dengan adab dan budi pekerti islam. Lidahnya amat fasih berbicara, dan dalam hal ini terkenal ulung. Pengetahuannya tentang islam amat luas. Dan mungkin, karena rapatnya dengan Rasulullah SAW, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir diseluruh
3
peperangan-peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali tetap ada didalamnya, bergulat atau perang tanding, dengan tak takut mati. Sering Ali dapat merebut kemenangan bagi kaum Muslimin dengan mata pedangnya yang tajam.
Ali bin Abi Thalib mengikuti semua peperangan disisi Rasulullah SAW, kecuali perang Tabuk. Sebelum berangkat ke medan perang, Rasulullah memercayakan semua urusan Madinah kepada Muhammad ibnu Maslamah r.a. Dan memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menjaga keluarganya.
Setelah Rasulullah wafat, Ali bin Abi Thalib dihormati dan diagungkan oleh ketiga Khalifah Rasyidin. Dan ketika kekhalifahan beralih ketangan Ali, ia menerimanya dengan berat hati dan sikap yang enggan. Ali menjalankan roda pemerintahan dan politik seperti yang dijalankan oleh Umar r.a. Ia juga menyerupai Umar dari sisi kezuhudan, keadilan,ketakutan, kewarakan, dan ketegasan hukumnya.
B.       Pembaiatan Ali bin Abi Tholib
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibnu Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah mencari-cari  Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk Bhasrah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan kekhalifahan kepada ketiga orang ini.” Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqos dan berkata, “Kau termasuk diantara Dewan Syura,” namun ia menolak. Lalu ia mendatangi Ibnu Umar, yang juga menolaknya.
Akhirnya mereka menetapkan bahwa yang bertanggung jawab adalah penduduk Madinah sehingga mereka berkata kepada penduduk Madinah, “ kalianlah yang bertanggung jawab. Kami akan memberi kalian waktu selama dua hari. Jika selama itu kalian tidak menghasilkan keputusan, demi Allah, kami akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”

4
Maka orang-orang mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antara berbagai kota.”
Ali menjawab, “Tinggalkanlah aku, dan carilah orang lain yang lebih baik dariku, karena aku akan menghadapi suatu masalah yang sangat rumit dan pelik, masalah yang tidak akan mampu dihadapi oleh hati dan pikiran siapapun.
Namun, mereka bersikukuh membaiat Ali bin Abi Tholib. Tindakan mereka itu didukung oleh kaum Muhajirin dan Anshar, serta kelompok-kelompok lainnya. Termasuk diantara yang membaiat Ali ialah Thalhah, Zubair, Abdullah bin Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ali dibaiat sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman di Madinah pada hari Jum’at 5 Dzulhijjah 35 Hijriah. Semua sahabat membaiatnya sebagai khalifah, disebutkan bahwa Thalhah dan Zubair membaiatnya dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela.
Sebagian orang termasuk putranya sendiri, Al-Hasan mengkritik Ali bin Abi Tholib karena mau menerima baiat dan diangkat sebagai khalifah. Mereka beranggapan bahwa semestinya di tengah situasi yang penuh fitnah ini Ali menolak dibaiat sebagai khalifah.
Ali sendiri telah menyadari konsekuensi yang mesti ia tanggung ketika ia bersedia dibaiat dan diangkat sebagai khalifah umat islam. Ia merasa harus maju dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan umat islam dari kehancuran yang lebih besar.
C.       Kebijakan Ali Bin Abi Tholib Dalam Pemerintahan
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Tholib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman

5
kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.
Selama pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikit pun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah memangku jabatan khalifah, Ali mengubah apa yang telah ditetapkan oleh utsman. Dua buah ketetapan diantaranya:
  1. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Utsman. Dikirim kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
  2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Banyak pendukung-pendukung dan kaum kerabat Ali yang menasihatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-pertama Ali mendapat tantangan dari keluarga bani Umayyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangkitlah Muawiyyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.
Kemudian oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh sesungguhnya.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi.  Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan kembali ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “Perang Jamal”(Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H,
6
karena dalam pertempuran tersebut Aisyah istri Nabi mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin gugur.
Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah islam, karena peristiwa itu memperlihatkan suasana yang baru dalam islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perang, dan justru bertikai melawan saudara sesama islam.
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan islam dipindahkan ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah.
Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara Ali dan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 70.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Al Qur’an sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah melainkan mengangkat sebagi khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan  Shiffin yang diakhiri melalui tahkim(arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang dengan penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menyebabkan lahirnya golongan khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh  Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah

7
menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  1. Kehidupan Khalifah Ali bin Abi Tholib
Khalifah keempat Ali bin Abi Tholib adalah sepupu Nabi Muhammad SAW yang diangkat sebagai khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung
  1. PembaiatanKhalifah Ali bin Abi Tholib
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibnu Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah mencari-cari  Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk Bhasrah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan kekhalifahan kepada ketiga orang ini.” Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqos dan berkata, “Kau termasuk diantara Dewan Syura,” namun ia menolak. Lalu ia mendatangi Ibnu Umar, yang juga menolaknya.
Akhirnya mereka menetapkan bahwa yang bertanggung jawab adalah penduduk Madinah sehingga mereka berkata kepada penduduk Madinah, “ kalianlah yang bertanggung jawab. Kami akan memberi kalian waktu selama dua hari. Jika selama itu kalian tidak menghasilkan keputusan, demi Allah, kami akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”
Maka orang-orang mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antara berbagai kota.”
  1. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Tholib Dalam Pemerintahan
1.    Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Utsman. Dikirim kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu
7
8
terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
2.    Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.

.











  
DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Armedia, 2003), cet. 1
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. 1
As-Suyuti , Imam, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), cet. 1
Murad, Musthafa, Kisah Hidup Ali ibnu Abi Thalib, (Jakarta: Zaman, 2009), cet.1
NC, Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2010), cet. 2
Syalabi,Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam1,(Jakarta:PT.Al Husna Zikra, 2000), cet.4
Dudung abdurrahman,Sejarah Peradapan Islam(Yokyakarta,Fak.adab IAIN Sunan Kalijaga)
http://viosixwey.blogspot.co.id/2013/04/sejarahbiografi-ali-bin-abi-thalib.html










ABSTRAK
PERADABAN ISLAM DI MASA  ALI BIN ABI THALIB
Oleh :MiftahArif Budi Kusumo

Kata Kunci :PeradabandanKhalifah Ali Bin AbiThalib

Khalifah ke empat adalah Ali bin Abi Tholib bin Abdil Mutholib, putra dari paman Rasulullah dan suami dari  Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasul yang mempunyai keturunan
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibnu Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah mencari-cari  Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk Bhasrah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan kekhalifahan kepada ketiga orang ini.” Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqos dan berkata, “Kau termasuk diantara Dewan Syura,” namun ia menolak. Lalu ia mendatangi Ibnu Umar, yang juga menolaknya.
Maka orang-orang mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antara berbagai kota.”
Namun, mereka bersikukuh membaiat Ali bin Abi Tholib. Tindakan mereka itu didukung oleh kaum Muhajirin dan Anshar, serta kelompok-kelompok lainnya. Termasuk diantara yang membaiat Ali ialah Thalhah, Zubair, Abdullah bin Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqash.  Ali dibaiat sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman di Madinah pada hari Jum’at 5 Dzulhijjah 35 Hijriah. Semua sahabat membaiatnya sebagai khalifah, disebutkan bahwa Thalhah dan Zubair membaiatnya dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar