BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan adalah dasar utama bagi manusia untuk
bersikap atau berperilaku baik dalam kehidupan. Setiap keyakinan agama yang
dianut oleh manusia mengajarkan penganutnya untuk berbudi pekerti baik dan
berakhlaq mulia. Salah satunya islam itu sendiri yang mengajarkan umat manusia
untuk selalu bersikap baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Dalam
berbudi pekerti baik akan melahirkan sikap moral yang baik pula dan berbudi
luhur. Dengan cara menempuh pendidikan formal maupun in formal. Dunia
pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk bersikap luhur, tidak terkecuali
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Islam juga mengajarkan dalam
kitab sucinya serta dalam hadis nabi yang menjadi dasar pondasi umat muslim untuk
berperilaku baik.
Melihat perkembangan jaman saat ini dan pengaruh
teknologi sangat kuat dalam masyarakat yang mengharuskan mereka untuk bersikap
liberal dan tanpa batas. Bahkan sopan santun dan tutur kata serta tingkah laku
sangat menyimpang dan berbeda jauh dengan jaman sebelumnya. Sekarang manusia
lebih bersikap seenaknya dan mengikuti sikap tingkah laku bangsa barat, sama
sekali mengesampingkan ajaran agama yakni berbudi luhur. Fenomena saat ini,
tidak semua orang bersikap dingin dan tidak menghiraukan orang lain. Melihat
fenomena tersebut bisa dikatakan 10 banding 4 dalam kehidupan sebenarnya. Hal
ini sangat memprihatinkan bagi kehidupan selanjutnya dan generasi yang akan
datang. Bersikap arogan dan menyimpang dari ajaran agama akan menguasai dunia
dan mereka yang lemah dengan sikap budi luhurnya akan menjadi kaum minoritas
dan mendapatkan diskriminasi dari lawannya.
Hal ini sudah diperlihatkan dengan sangat jelas
dalam masyarakat terutama di negara Indonesia sendiri. Korupsi yang merajarela,
perkelahian antar anak sekolah, adanya perkumpulan pengendara motor dan lain
sebagainya. Contoh tersebut sungguh sangat disayangkan apabila akan terus
berkelanjutan dimasa yang akan datang. Maka dari itu penguatan akhlaq ataupun
aqidah dalam dunia pendidikan formal maupun informal seharusnya menjadi pusat
perhatian yang utama. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ibadah puasa
dan budi pekerti baik dalam pendekatan sufistik, berikut pembahasannya.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini menitiberatkan
dalam masalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan ibadah puasa?
- Apa yang dimaksud dengan budi pekerti baik?
- Bagaimana pendekatan sufistik berkaitan dengan ibadah puasa dan budi pekerti baik?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, sebagai berikut:
- Mengetahui apa yang dimaksud dengan ibadah puasa.
- Mengetahui apa budi pekerti baik.
- Mengetahui pendekatann secara sufistik tentang ibadah puasa dan budi pekerti baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadah
Puasa
Ibadah puasa adalah termasuk dalam rukun Islam.
Dalam terminologi Islam, melaksanakan puasa ditinjau dari aspek akidah
menunjukkan keimanan yang kuat, dari segi ibadah melaksanakan puasa merupakan
bentuk ketaatan kepada Allah, mencari ridha-Nya. Dipandang dari sudut
akhlak puasa menghaluskan budi pekerti, menanamkan disiplin waktu, kejujuran, kesabaran,
dsb.
Puasa
adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau
keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa untuk
periode waktu tertentu. Puasa mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang
dari semua makanan dan cairan untuk periode tertentu, biasanya selama satu hari
(24 jam), atau beberapa hari. Puasa lain mungkin hanya membatasi sebagian,
membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas
seksual dan lainnya serta makanan.
Puasa menurut bahasa arab
adalah menahan dari segala sesuatu, misalnya menahan makan, minum, nafsu dan
berbicara yang tidak ada manfaatnya.[1]
Menurut istilah puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya,
mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Puasa tidak hanya
dilakukan oleh umat muslim saja, bahkan umat non muslim juga melakukan puasa
terutama untuk menghormati saat puasa wajib di bulan ramadhan. Hanya saja upaya
yang dilakukannya tidak mendapat pahala dan hanya sia-sia saja.
Adapun puasa terdiri dari
bebrapa macam jenis yakni, puasa wajib, puasa sunah, dan puasa haram. Puasa
wajib yang sudah terdapat dalam surat al baqarah ayat 183 yang menjadi dasar
umat muslim untuk menjalankan ibadah tersebut. Puasa sunah yakni puasa yang
sering kita kenal dengan puasa senin kamis misalnya. Puasa haram yakni puasa
yang tidak boleh dilakukan karena hari tersebut merupakan hari yang sangat
mulia, misalnya puasa di hari raya islam.
Puasa tidak begitu saja bisa
dilakukan oleh setiap umat muslim, melainkan semua ada syarat-syarat tertentu
sebagai berikut.[2]
Syarat-syarat Wajib Puasa:
1.
Berakal sehat.
2.
Balig (usia 15 tahun keatas).
3.
Kuat puasa (anak dibahwah umur dan orang tua mendapat keringanan).
Syarat Sah Puasa:
1.
Islam.
2.
Mumayiz.
3.
Suci dari haid
4.
Waktu yang diperbolehkan puasa.
Rukun Puasa:
1. Niat pada malam harinya.
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan sampai
tenggelamnya matahari.
Hal Membatalkan Puasa:
1. Makan
dan minum secara sengaja.
2. Muntah
yang disengaja.
3. Bersetubuh.
4. Keluar
darah haid.
5. Gila.
6. Keluar
mani dengan sengaja.
Puasa memberikan pengajaran bagi kita untuk bersikap
sabar dan menahan dari segala hal yang memicu nafsu manusia. Dalam hal ini
puasa mencoba mendidik manusia untuk bersikap lebih baik dan jauh dari godaan
nafsu syetan. Bisa dikatakan puasa mencoba mendidik manusia untuk berbudi
pekerti yang baik. Apabila seseorang tidak dapat menjaga diri dari nafsu
amarahnya maka puasa yang dilakukan akan sia-sia. Pandangan atau pendekatan sufi tentang puasa
adalah ‘takwa’ sebagai terminal akhir dari ibadah puasa. Bukan hanya sebatas
menjalankan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya secara lahir, tapi lebih
dari itu, para sufi memaknai ‘takwa’ sebagai simbol penghambaan diri kepada Tuhan
secara utuh, murni dan maksimal. Takwa sejati dalam dunia sufistik tercapai di
saat hati telah mampu terlepas dari tambatan dunia dan jiwa merdeka dari
kungkungan cita-cita duniawi semata.[3]
Berangkat dari paradigma di atas, puasa bagi para sufi tidak lagi dimaknai
sebagai pergulatan menahan jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat
perut dan birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu. Perjuangan jiwa
dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan dosa-dosa batin merupakan upaya yang
harus dilakukan para sufi untuk mencapai tahap tersebut.
Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian
penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan
diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah,
bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya,
orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan
apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat
kepada Allah semata akan lebih mudah.[4]
Puasa semacam ini memang sangat sulit dilakukan dan
hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah
(Syariah) tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa
melakukan puasa semacam ini. Dimana aturannya selama berpuasa orang tidak boleh
mendengar perkatan yang terlarang yang berasal dari orang lain, dengan cara
berusaha menjauhi pertemuan dengan orang yang susah melanggar larangan
tersebut. Sedang pada sisi fisik sewaktu berbuka, hanya boleh makan dan minum
sedikit mungkin hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga.[5]
Manusia yang benar-benar bisa melakukan puasa ini
hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketaqwan kuat dalam hati
dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada
yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama.
Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan
dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
B. Pengembangan
Budi Pekerti
Secara umum Budi Pekerti berarti moral dan kelakuan yang baik dalam
menjalani kehidupan ini. Budi Pekerti adalah tuntunan moral yang paling penting
untuk orang Jawa tradisional. Budi Pekerti adalah induk dari segala etika
,tatakrama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan, pekerjaan dan kehidupan
sehari-hari. Pertama-tama budi pekerti ditanamkan oleh orang tua dan keluarga
dirumah, kemudian disekolah dan tentu saja oleh masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung.[6]
Pada saat ini dimana sendi-sendi kehidupan banyak yang goyah
karena terjadinya erosi moral,budi pekerti masih relevan dan perlu
direvitalisasi. Budi Pekerti yang mempunyai arti yang sangat jelas dan
sederhana, yaitu: Perbuatan (Pekerti) yang dilandasi atau
dilahirkan oleh Pikiran yang jernih dan
baik (Budi).
Dengan definisi yang teramat gamblang dan sederhana dan tidak
muluk-muluk, kita semua dalam menjalani kehidupan ini semestinya dengan mudah dan arif
dapat menerima tuntunan budi pekerti. Budi pekerti untuk melakukan hal-hal yang
patut, baik dan benar. Kalau kita berbudi pekerti, maka jalan kehidupan kita
paling tidak tentu selamat, sehingga kita bisa berkiprah menuju ke kesuksesan
hidup, kerukunan antar sesama dan berada dalam koridor perilaku yang baik. Sebaliknya,
kalau kita melanggar prinsip-prinsip budi pekerti, maka kita akan mengalami
hal-hal yang tidak nyaman, dari yang sifatnya ringan, seperti tidak disenangi
atau dihormati orang lain, sampai yang berat seperti: melakukan pelanggaran
hukum sehingga bisa dipidana.
Budi pekerti pada kamus
bahasa Indonesia
merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti Budi berarti sadar atau yang menyadarkan
atau alat kesadaran[7].
Pekerti berarti kelakuan. Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada
manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan
nama karakter.
Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh
perasaan hati, yang disebut behavior.
Jadi dari kedua kata tersebut budipekerti dapat
diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada
karsa dan tingkah laku manusia.
Penerapan budi pekerti tergantung kepada
pelaksanaanya. Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif. Budi pekerti
itu sendiri selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia.
Budi pekerti didorong oleh kekuatan yang terdapat di dalam hati yaitu rasio. Rasio mempunyai tabiat
kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal
dan sebaliknya tidak mau menerima yang analogis, yang tidak masuk akal. Selain
unsur rasio di dalam hati manusia juga terdapat unsur lainnya yaitu unsur rasa. Perasaan manusia
dibentuk oleh adanya suatu pengalaman, pendidikan,
pengetahuan
dan suasana lingkungan.
Rasa mempunyai kecenderungan kepada
keindahan. Letak keindahan adalah pada
keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani,
harmonis antara cipta, rasa dan karsa, harmonis antara
individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga,
harmonis hubungan antara keluarga. Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam
kalbu dan tentram dalam hati. Perasaan hati itu sering disebut dengan nama
“hati kecil” atau dengan nama lain yaitu “suara kata hati”, lebih umum lagi
disebuut dengan nama hati nurani. Suara hati selalu
mendorong untuk berbuat baik yang bersifat keutamaan serta memperingatkan perbuatan
yang buruk dan brusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina. Setiap orang mempunyai suara hati,
walaupun suara hati tersebut kadang-kadang berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan keyakinan,
perbedaan pengalaman,
perbedaan lingkungan,
perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun mempunyai kesamaan, yaitu keinginan
mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan
hidup.
Adakah persamaan antara etika, moral dengan akhlak? Pengertian etika,
moral, dan akhlak terkesan sama, apalagi kalau ketiga istilah itu disandarkan
pada Islam. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dijelaskan, bahwa kata “etika”
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”
artinya adat kebiasaan. Etika bisa saja merupakan istilah lain dari akhlak atau
moral, tetapi memiliki perbedaan yang substansial karena konsep akhlak berasal
dari pandangan agama terhadap tingkah laku manusia, sedangkan etika adalah
pandangan tentang tingkah laku manusia dalam persfektif filsafat. Kalau ada
persamaan adalah sama-sama membicarakan tabiat manusia.[8]
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai
suatu masyarakat tertentu. Sementara moral secara etimologis berasal dari
bahasa latin “mores”, kata jamak dari
“mos” yang berarti adat kebiaasaan,
atau tata susila.[9] Dalam
hal ini yang dimaksud adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan
ide-ide umum yang diterima masyarakat, mana yang baik dan wajar. Etika, moral
merupakan persamaan dari budipekerti, seperti dalam islam disebut juga dengan
aqidah atau akhlaq.
Istilah etika dan ilmu akhlaq dinilai sama apabila ditinjau dari fungsinya.
Apabila ditinjau dari segi pokoknya keduanya memiliki peran yang berbeda. Keduanya
yang berasal dari keilmuan yang berbeda pula, etika dari Filsafat dan Akhlaq
dari Quran-Hadist. Etika menitik beratkan pada perbuatan sesama manusia, dan
akhlaq menitik beratkan pada perilaku manusia terhadap Tuhan dan sesama
manusia.[10] Maka
akhlaq bersifat teoritis dan etika bersifat antroposentris. Keduanya merupakan
persamaan dari budipekerti yang mana menjadi dasar perilaku manusia terhadap
penciptanya maupun terhadap sesama.
Budi pekerti dikembangkan dalam masyarakat melalui pendidikan formal maupun
in formal, melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan lingkungan. Proses
pendidikan tidak sekadar melakukan transfer
of knowledge, tapi juga hendaknya melakukan transfer of values. Proses pendidikan tidak sekadar memperkuat
kecakapan kognitif semata, tapi juga mampu mengembangkan kepribadian dan akhlak
mulia. Dengan proses pendidikan yang dapat mengembangkan seluruh potensi
individu manusia, maka dihasilkan kualitas yang prima. Proses pendidikan memang
seyogianya tidak sekadar mengembangkan dimensi akal. Dimensi hati, sikap, dan
perilaku hendaknya diperhatikan dalam proses pendidikan. Pendidikan juga
mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan
akhlak mulia. Untuk menjadi individu manusia yang unggul dan berkarakter dalam
menghadapi kehidupan kini dan masa depan, pembangunan budi pekerti dalam proses
pendidikan merupakan keniscayaan.
Ritual ibadah puasa yang dijalankan oleh kaum Sufi
dengan menjalankan tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dapat mewujudkan
menjadi manusia berakhlak mulia, memilki budi pekerti mulia yang merupakan
terget utama dari tujuan hakekat ritual ibadah puasa. Tanpa disertai tarekat
puasa dan laku atau lakon spiritual dalam menjalankan ibadah puasa, baik itu
puasa sunah maupun puasa wajib di bulan Ramadhan, maka puasa kita hanyalah
sebentuk upaya menahan diri dari yang membatalkan puasa dalam rentang waktu
terbit fajar hingga terbenam matahari.
C. Penutup
Dari pembahasan diatas ibadah puasa tahap atau
proses yang harus dijalani oleh manusia mencapai pada peningkatan spiritual
terhadap Tuhan sang pencipta dunia. Menjaga segala hal yang berkaitan dengan
duniawi dan mendekatkan diri pada Tuhan dalam peningkatan ibadahnya merupakan
godaan terberat yang harus dialami. Perngembangan budi pekerti dalam lingkungan
masayarakat dan lingkungan keluarga menjadikan dasar manusia menjadi seseorang
yang memiliki sifat arif dan bijaksana serta berbudi luhur. Apabila
pengembangan ini tidak dilaksanakan secara maksimal maka akan merugikan diri
sendiri. Berkaitan dengan ibadah puasa yang dijalani secara sufistikmemberikan
dampak positif bagi diri sendiri.
Apabila kita dapat menjalankan ibadah puasa sesuai
hakekatnya dan bukan hanya pada pemaknaan saja mungkin kita akan mencapai pada
sikap budi pekerti yang unggul dari yang lainnya. Pendekatan secara sufistik
memberikan nilai spiritual dalam jiwa manusia terhadap Tuhan dan sesama
manusia. Tidak mudah bagi manusia dapat menjalani ibadah seperti ini. Hanya
orang-orang tertentu yang dapat mencapai pada maqam tersebut.
IBADAH PUASA DAN
PENGEMBANGAN BUDI PEKERTI
(Pendekatan
Sufistik)
Makalah ini di susun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah
PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, MA
Di susun Oleh:
Awang Yulias Supardi
015.10.09.1468
PROGRAM PASCA
SARJANAH S2
MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA
SURAKARTA
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012)
http://Puasa-dalam-Perspektif-Sufi_Andi-Ridwan's-Blog.htm,
diakses pada 01 Desember 2015
Syeikh
Ghulam Moinuddin, Penyembuhan Cara Sufi (Yogyakarta: Bentang, 2000)
http://Metodologi-Islam_Catur-Prasetyo.htm,
diakses pada 01 Desember 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak,
diakses pada 01 Desember 2015
http://sevannisa.blogspot.co.id/2012/11/akhlak-dan-tasawuf-dalam-islam.html,
diakses pada 01 Desember 2015
Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2001)
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 220.
[3]http://Puasa-dalam-Perspektif-Sufi_Andi-Ridwan's-Blog.htm,
diakses pada 01 Desember 2015.
[4] Syeikh Ghulam Moinuddin, Penyembuhan
Cara Sufi (Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 148.
[5] Ibid, h. 149.
[6]http://Metodologi-Islam_Catur-Prasetyo.htm,
diakses pada 01 Desember 2015.
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak,
diakses pada 01 Desember 2015.
[8] http://sevannisa.blogspot.co.id/2012/11/akhlak-dan-tasawuf-dalam-islam.html,
diakses pada 01 Desember 2015.
[9] Mahjudin, Kuliah Akhlaq
Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 7